Rabu, 03 April 2002

Tujuh hari gugurnya Kapten Penerbang Weko Nartomo

Surya, Rabu 03 april 2002


”Suami saya orangnya supel dan low profile”

ALUNAN ayat suci Alquran terdengar sayup-sayup di kompleks perumahan dosen Jl Airlangga I/19, Selasa (2/4) siang kemarin.

Ratusan tamu baik dari tetangga maupun civitas akademika Unair terlihat hadir memperingati malam tujuh hari meninggalnya Kapten Penerbang Weko Nartomo S yang gugur, Kamis (29/3) lalu.

Ny Syahri Vandawati Chumaida, istri almarhum, masih tak hentihentinya menerima ucapan belangsungkawa dari para pentakziah yang kemarin ikut baca surat yasin.

Meski sibuk, Ny Vanda masih menyempatkan diri menerima Surya di teras halaman depan rumahnya. “Saya sangat kehilangan karena suami saya orangnya supel dan low profile,” tutur Ny Vanda mengawali cerita.

Mengenakan baju warna putih dipadu kulot warna gelap, Ny Vanda masih terlihat terpukul dengan kematian suaminya. Matanya sembab dan masih nampak memerah karena sering menangis. “Setiap suami saya pulang ke rumah, selalu menyempatkan jalan-jalan dan mengobrol dengan tetangga kiri kanan,” kenangnya.

Ny Vanda menceritakan pertemuan pertama dengan Weko terjadi pada 1997 lalu. Saat itu diperkenalkan Letkol Prakosa (seorang penerbang) yang juga tetangganya di kompleks Unair.

Meski baru kenal, Ny Vanda ternyata langsung jatuh hati karena sikapnya yang sangat sabar. Setiap menemui dirinya di kompleks Unair, Weko selalu berjalan kaki, kadang-kadang juga
naik sepeda buntut.

Malah ibu Vanda sempat heran karena Weko tidak menampakkan perawakan layaknya seorang penerbang. “Ibu saya heran, ketika dia pulang ke rumah sering nyapu halaman dan membersihkan rumah. Sifat dia memang begitu,” urai Vanda.

Setelah setahun melakukan pendekatan dengan Weko, akhirnya ia menerima lamaran Weko dan melangsungkan pernikahan pada Agustus 1998.

Meski telah menikah, sikap Weko tak berubah. Sopan, menghormati orangtua, mudah bergaul dengan tetangga. Bila ada tetangga kesusahan atau berduka, Weko selalu membantu bahkan tak jarang melobi pinjam heli guna menjemput jenazah bila diperlukan.

“Karena itu tak heran banyak tetangga yang ikut merasa kehilangan atas gugurnya penerbang cerdas itu,” puji seorang tetangga.

Ny Vanda sendiri mengaku tidak mempunyai firasat apa pun ketika suaminya mengalami musibah dalam latihan harian menggunakan pesawat Hawk ME-53 di Lanud Iswahyudi.

Hanya saja dua minggu sebelum peristiwa naas itu terjadi, suaminya sering murung di halaman depan rumah. “Entah apa yang dipikirkan karena tidak seperti biasanya, saat pulang dua minggu lalu saya sering melihat dia melamun,” urainya.

Namun anaknya, Muhamad Vikri Kesatria Dirgantara yang berusia 4 tahun sepertinya telah menerima firasat saat bapaknya berangkat ke Lanud Iswahyudi. “Saat itu Mas Weko hanya bilang kepada Vikri, bapak mau terbang. Vikri yang biasanya mengantar sampai mobil dinas, saat itu hanya melambaikan tangan dari pintu rumah,” terang Ny Vanda lalu menerawang.

Tentu saja hingga sekarang Ny Vanda masih terbayang dengan suami tercintanya itu. Setiap malam ketika pintu pagar rumah terbuka, Ny Vanda selalu teringat suaminya ketika mengetuk pintu.

Namun sebagai umat beragama, Ny Vanda tetap merelakan dan selalu berdoa agar arwah suaminya diterima dan segala amalnya dibalas Allah swt.

“Hidup dan mati memang hanya milik Allah semata, semoga Mas Weko mendapat jalan yang lapang,” imbuh Ny Vanda mengakhiri wawancara. (teddy ardianto)