Sabtu, 11 Juni 2011

Ujian Nasional = Korupsi

Gadel di Surabaya Barat yang berdekatan dengan kawasan pabrik dan pergudangan menjadi perbincangan Nasional setelah adanya skandal contek massal SDN Gadel II.'

Adalah Ny Siami menjadi bulan-bulanan warga kemudian diusir dari rumahnya karena telah melaporkan contek massal ujian nasional setelah anaknya dipaksa memberikan contekan kepada teman sekelasnya. Pemkot dan dinas Pendidikan akhirnya memberikan sanksi kepada guru dan kepala sekolah atas tindakan tersebut.

Meski baik atas kejujurannya melaporkan namun Ny Siami dianggap sebagai pengkianat oleh warga yang rata-rata adalah buruh pabrik dengan penghasilan pas-pasan.

Tidak ada yang salah dengan warga dan Ny Siami sebagai pelapor, walimurid tentu saja khawatir jika anak-anak mereka ujian ulang atau tidak lulus mengikuti ujian nasional dan masuk ke jenjang sekolahlebih tinggi.

Siapapun orangtua seperti walimurid di SDN Gadel tentu tidak ingin anak-anak mereka sengsara dengan kehidupan mereka sebagai buruh pabrik yang hanya bisa makan seadanya.

Wajar mereka marah karena kerja di pabrik dengan kerja yang ketat mereka sudah ditekan habis-habisan oleh juragannya dan ketika anak-anak mereka dibayangi ujian ulang dan tidak lulus tentu mereka juga meradang karena penindasan itu merembet ke anak-anak mereka.

Sepakat dengan Sosiolog Univesitas Airlangga Bagong Suyanto orangtua wali murid, Ny Siami dan guru adalah korban ujian nasional seperti yang dilansir beritajatim.com kemarin.

Siapa yang salah, yang salah adalah sistem pendidikan nasional yang mencetak kader pemipin masa depan Indonesia pro korupsi karena Ujian Nasional yang diberlakukan sejak Orde Baru tentu menjadi momok tersendiri bagi siswa dan orangtua, mereka menjadi tertekan dengan sistem ini sehingga siswa menghalalkan segala cara untuk meraih nilai.

Lihatlah di kelas-kelas saat ujian, mencontek, kolusi dan berbuat curang sudah tumbuh subur sejak sekolah dasar yang seharusnya menjadi fundamental bagi generasi. Jika praktek tidak jujur telah diterapkan sejak sekolah dasar dengan sistem yang pro korupsi ini bagaimana masa depan anak-anak Indonesia nanti.

Apalagi berhembus kabar kurang sedap kasus Gadel ada yang memainkan untuk merebut jabatan Kepala Dinas Pendidikan oleh sejumlah partai, karena jabatan Kepala Dinas menjadi ladang upeti bagi parpol yang duduk di DPRD Surabaya.

Jangan salahkan korupsi tumbuh subur di Indonesia karena sistem pendidikan sejak sekolah dasar sudah dipupuk sehingga susah diberantas.

Tokoh pendidikan asal Brasil Paulo Freire juga mengungkapkan sistem pendidikan yang hanya mengarahkan siswa untuk mengumpulkan, menghafal kemudian diujikan di sesi terakhir akan menjadi siswa jadi robot dan tidak kritis terhadap kenyataan sosial sehari-hari. Pendidkan yang dialogis dan siswa bisa mengungkapkan pendapatnya seharusnya yang diajarkan.


Negara terutama Menteri Pendidikan Nasional, DPR seharusnya bertanggung jawab dengan kurikulum pendidikan seperti ni, ataukah sistem ini akan terus melanggengkan sistem Orde Baru karena ujian nasional lahir sejak tahun 80 saat kekuasaan sentralistik krptif berkuasa, padahal sudah sudah 13 tahun reformasi tapi dunia pendidikan masih berjalan di tempat.[ted]

Ortu Cerai Nilai Matematika Anak Bakal Jeblok

Penelitian baru menunjukkan anak korban perceraian orangtua akan menghambat perkembangan ketrampilan interpersonal dan nilai matematika.

Hal tersebut diungkapkan Hyun Sik Kim, seorang kandidat doktor di departemen sosiologi Universitas Wisconsin-Madison Amerika. "Menghadapi tahap perceraian orangtua, anak akan tertinggal dalam nilai tes matematika dan keterampilan sosial interpersonal,"ungkap Hyun Sik Kim seperti dikutip dalam Health day news, Jumat (03/06/2011).

Dalam studi ini Kim menjelaskan secara gamblang anak-anak korban perceraian dan tidak harmonisnya keluarga akan cenderung menderita kecemasan,kesepian, rendah diri dan kesedihan. "Mereka akan terus mengingat kesedihan dan menyalahkan diri sendiri sehingga tidak punya semangat mengejar ketertinggalan dengan anak-anak lain yang orangtuanya harmonis,"ungkap Kim yang studinya ini telah diterbitkan dalam edisi Juni American Sociological Review.

Dalam studi tersebut lanjut Kim dibahas bagaimana dampak dari perceraian bisa membahayakan perkembangan anak korban perceraian. Orangtua yang bercerai akan memberikan game di rumah agar tidak menyalahkan orang tua atau konflik hak asuh anak. stres ini dapat diperparah oleh hilangnya stabilitas ketika seorang anak berpisah dengan ayah atau ibunya dan kehilangan kontak dengan teman sosial di sekitar rumah.

Dalam penelitian ini Kim menganalisis data dari usia dini studi longitudinal 3.600 anak-anak yang masuk TK pada tahun 2008. Anak-anak dilacak melalui kelasnya. Selama waktu itu, Kim membandingkan anak-anak yang orangtuanya bercerai saat anak itu di kelas pertama, kedua atau ketiga dengan anak-anak dari perkawinan yang harmonis.

Di antara kelompok perceraian, Kim memeriksa perkembangan anak lebih dari tiga tahap: 'pra-perceraian' periode dari TK ke kelas 1, 'periode perceraian' dari kelas 1 sampai kelas 3, dan 'pasca-perceraian' periode 3 sampai 5 kelas.

Kim menemukan bahwa selama masa perceraian orangtua, nilai tes matematika mengalami penurunan, selain itu ketrampilan interpersonal juga menderita selama perceraian terutama kemampuan seorang anak untuk bersosialisasi dengan temannya, maupun bersosialisasi mengungkapkan perasaan dan pendapat secara positif.

Menurut Kim dalam kesimpulan studinya tersebut jika sekolah menemukan anak-anak sedang dalam masalah ketika orangtuanya bercerai untuk segera mengantisipasinya secepatnya mungkin.

"Salah satu implikasi dari studi ini adalah bahwa kita perlu untuk melakukan intervensi secepat mungkin ketika kita mengamati seorang anak mengalami perceraian orang tua," kata Kim,

Menurut Kim, perceraian orantua berdampak sangat buruk dan merusak perkembangan anak di masa depan dibandingkan dengan orangtua dengan perkawinan yang langgeng.

Sementara itu Richard E. Lucas seorang profesor di departemen psikologi di Michigan State University tidak menampik penelitian Hyun Sik Kim terkait dengan merosotnya nilai matematika anak saat orangtua menghadapi perceraian.

"Peristiwa besar dalam hidup, seperti perceraian, dapat memiliki pengaruh signifikan terhadap individu dan perkembangan mental anak," katanya. [ted]