Surya, Minggu 5 Mei 2002
TB Gramedia-UK Petra sambut bulan buku
Boim dan Hilman pamer enaknya jadi pengarang
PARA penggemar cerpen Lupus ger-geran saat Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon blak-blakan bagi pengalaman menulis novel atau cerita pendek.
Ratusan remaja maupun anakanak yang baru saja mengikuti lomba membaca indah di Auditorium Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya tak beranjak mendengarkan cerita dari kedua pengarang terkenal, Sabtu (4/5).
Acara yang digelar kerja sama UK Petra dengan Toko Buku (TB) Gramedia ini dalam rangka Bulan Buku Nasional bertema Baca Yuk Sehari Satu Buku.
Boim yang pertama kali didaulat menceritakan pengalamannya menjadi pengarang, tampil rileks dengan joke-joke segar.
“Saat masih SMA, saya memang diajak Hilman menjadi pengarang dengan memerankan Boim yang sok play boy dalam cerita Lupus,” katanya.
Saat duduk dibangku SMA itu, Boim mengaku sering naksir cewek di sekolahnya sehingga mendapat julukan play boy duren tiga (tak laku). “Dari lima cewek yang saya taksir, anehnya ada tujuh yang menolaknya,” kelakar Boim yang disambut ger-geran peserta diskusi dari kalangan siswa SD, SLTP hingga mahasiswa.
Pada kesempatan kemarin Boim juga bercerita tentang teman sekolah bernama Gusur yang sering berpuisi baik di kelas maupun di luar kelas. Misalnya pada saat jam pelajaran, Gusur
tidak paham dengan mata pelajaran yang diajarkan guru. Gusur kemudian bertanya lewat berpuisi.
“Manakala angin bertiup semilir-semilir. Daun-daun kemudian berguguran, wahai bapak guru ada anakmu yang belum mengerti apa yang bapak terangkan,” cerita Boim mengutip puisi Gusur.
Boim mengaku selama ini kebiasaan mengarang muncul setelah bertemu dengan Hilman.
“Waktu itu saya diminta membaca karangan Hilman yang akan dikirimkan ke majalah. Setelah karangan itu dimuat dan dapat honor, saya tertarik menulis cerpen,” tuturnya.
Sementara itu Hilman yang berbicara dalam sesi kedua lebih banyak memberikan nasihat dan masukan kepada peserta diskusi.
“Sekarang profesi pengarang jadi alternatif untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Sekali dimuat bisa dihargai Rp 200.000-Rp 250.000,” terang Hilman.
Hilman kemudian mengatakan dengan mengarang dirinya bisa membeli rumah dan terima gaji tetap dari royalti. Seperti dari TB Gramedia saja, hingga saat ini sekitar 2.654.000 eksemplar buku karangannya telah terjual dengan pendapatan mencapai Rp 2 miliar.
Apalagi saat ini bermunculan stasiun TV swasta yang banyak menayangkan sinetron maupun cerita menarik lainnya. “Kalau cerita karangannya bisa ditayangkan televisi, akan dapat honor
sekitar Rp 4 juta dan bisa terkenal,” paparnya.
Hilman memberi saran kepada peserta diskusi, kalau ingin terkenal jangan mencari jalan pintas dengan mendaftar sebagai bintang sinetron. Seperti cerita Fifi Alone dalam serial Lupus adalah temannya satu SMA yang sok jadi artis terkenal.
“Padahal cuman jadi figuran yang hanya kelihatan betisnya doang. Ke sekolah sudah pake sepatu hak tinggi dan pake lipstik menor,” tuturnya disambut ger lagi. (teddy ardianto)
Minggu, 05 Mei 2002
Rabu, 03 April 2002
Tujuh hari gugurnya Kapten Penerbang Weko Nartomo
Surya, Rabu 03 april 2002
”Suami saya orangnya supel dan low profile”
ALUNAN ayat suci Alquran terdengar sayup-sayup di kompleks perumahan dosen Jl Airlangga I/19, Selasa (2/4) siang kemarin.
Ratusan tamu baik dari tetangga maupun civitas akademika Unair terlihat hadir memperingati malam tujuh hari meninggalnya Kapten Penerbang Weko Nartomo S yang gugur, Kamis (29/3) lalu.
Ny Syahri Vandawati Chumaida, istri almarhum, masih tak hentihentinya menerima ucapan belangsungkawa dari para pentakziah yang kemarin ikut baca surat yasin.
Meski sibuk, Ny Vanda masih menyempatkan diri menerima Surya di teras halaman depan rumahnya. “Saya sangat kehilangan karena suami saya orangnya supel dan low profile,” tutur Ny Vanda mengawali cerita.
Mengenakan baju warna putih dipadu kulot warna gelap, Ny Vanda masih terlihat terpukul dengan kematian suaminya. Matanya sembab dan masih nampak memerah karena sering menangis. “Setiap suami saya pulang ke rumah, selalu menyempatkan jalan-jalan dan mengobrol dengan tetangga kiri kanan,” kenangnya.
Ny Vanda menceritakan pertemuan pertama dengan Weko terjadi pada 1997 lalu. Saat itu diperkenalkan Letkol Prakosa (seorang penerbang) yang juga tetangganya di kompleks Unair.
Meski baru kenal, Ny Vanda ternyata langsung jatuh hati karena sikapnya yang sangat sabar. Setiap menemui dirinya di kompleks Unair, Weko selalu berjalan kaki, kadang-kadang juga
naik sepeda buntut.
Malah ibu Vanda sempat heran karena Weko tidak menampakkan perawakan layaknya seorang penerbang. “Ibu saya heran, ketika dia pulang ke rumah sering nyapu halaman dan membersihkan rumah. Sifat dia memang begitu,” urai Vanda.
Setelah setahun melakukan pendekatan dengan Weko, akhirnya ia menerima lamaran Weko dan melangsungkan pernikahan pada Agustus 1998.
Meski telah menikah, sikap Weko tak berubah. Sopan, menghormati orangtua, mudah bergaul dengan tetangga. Bila ada tetangga kesusahan atau berduka, Weko selalu membantu bahkan tak jarang melobi pinjam heli guna menjemput jenazah bila diperlukan.
“Karena itu tak heran banyak tetangga yang ikut merasa kehilangan atas gugurnya penerbang cerdas itu,” puji seorang tetangga.
Ny Vanda sendiri mengaku tidak mempunyai firasat apa pun ketika suaminya mengalami musibah dalam latihan harian menggunakan pesawat Hawk ME-53 di Lanud Iswahyudi.
Hanya saja dua minggu sebelum peristiwa naas itu terjadi, suaminya sering murung di halaman depan rumah. “Entah apa yang dipikirkan karena tidak seperti biasanya, saat pulang dua minggu lalu saya sering melihat dia melamun,” urainya.
Namun anaknya, Muhamad Vikri Kesatria Dirgantara yang berusia 4 tahun sepertinya telah menerima firasat saat bapaknya berangkat ke Lanud Iswahyudi. “Saat itu Mas Weko hanya bilang kepada Vikri, bapak mau terbang. Vikri yang biasanya mengantar sampai mobil dinas, saat itu hanya melambaikan tangan dari pintu rumah,” terang Ny Vanda lalu menerawang.
Tentu saja hingga sekarang Ny Vanda masih terbayang dengan suami tercintanya itu. Setiap malam ketika pintu pagar rumah terbuka, Ny Vanda selalu teringat suaminya ketika mengetuk pintu.
Namun sebagai umat beragama, Ny Vanda tetap merelakan dan selalu berdoa agar arwah suaminya diterima dan segala amalnya dibalas Allah swt.
“Hidup dan mati memang hanya milik Allah semata, semoga Mas Weko mendapat jalan yang lapang,” imbuh Ny Vanda mengakhiri wawancara. (teddy ardianto)
”Suami saya orangnya supel dan low profile”
ALUNAN ayat suci Alquran terdengar sayup-sayup di kompleks perumahan dosen Jl Airlangga I/19, Selasa (2/4) siang kemarin.
Ratusan tamu baik dari tetangga maupun civitas akademika Unair terlihat hadir memperingati malam tujuh hari meninggalnya Kapten Penerbang Weko Nartomo S yang gugur, Kamis (29/3) lalu.
Ny Syahri Vandawati Chumaida, istri almarhum, masih tak hentihentinya menerima ucapan belangsungkawa dari para pentakziah yang kemarin ikut baca surat yasin.
Meski sibuk, Ny Vanda masih menyempatkan diri menerima Surya di teras halaman depan rumahnya. “Saya sangat kehilangan karena suami saya orangnya supel dan low profile,” tutur Ny Vanda mengawali cerita.
Mengenakan baju warna putih dipadu kulot warna gelap, Ny Vanda masih terlihat terpukul dengan kematian suaminya. Matanya sembab dan masih nampak memerah karena sering menangis. “Setiap suami saya pulang ke rumah, selalu menyempatkan jalan-jalan dan mengobrol dengan tetangga kiri kanan,” kenangnya.
Ny Vanda menceritakan pertemuan pertama dengan Weko terjadi pada 1997 lalu. Saat itu diperkenalkan Letkol Prakosa (seorang penerbang) yang juga tetangganya di kompleks Unair.
Meski baru kenal, Ny Vanda ternyata langsung jatuh hati karena sikapnya yang sangat sabar. Setiap menemui dirinya di kompleks Unair, Weko selalu berjalan kaki, kadang-kadang juga
naik sepeda buntut.
Malah ibu Vanda sempat heran karena Weko tidak menampakkan perawakan layaknya seorang penerbang. “Ibu saya heran, ketika dia pulang ke rumah sering nyapu halaman dan membersihkan rumah. Sifat dia memang begitu,” urai Vanda.
Setelah setahun melakukan pendekatan dengan Weko, akhirnya ia menerima lamaran Weko dan melangsungkan pernikahan pada Agustus 1998.
Meski telah menikah, sikap Weko tak berubah. Sopan, menghormati orangtua, mudah bergaul dengan tetangga. Bila ada tetangga kesusahan atau berduka, Weko selalu membantu bahkan tak jarang melobi pinjam heli guna menjemput jenazah bila diperlukan.
“Karena itu tak heran banyak tetangga yang ikut merasa kehilangan atas gugurnya penerbang cerdas itu,” puji seorang tetangga.
Ny Vanda sendiri mengaku tidak mempunyai firasat apa pun ketika suaminya mengalami musibah dalam latihan harian menggunakan pesawat Hawk ME-53 di Lanud Iswahyudi.
Hanya saja dua minggu sebelum peristiwa naas itu terjadi, suaminya sering murung di halaman depan rumah. “Entah apa yang dipikirkan karena tidak seperti biasanya, saat pulang dua minggu lalu saya sering melihat dia melamun,” urainya.
Namun anaknya, Muhamad Vikri Kesatria Dirgantara yang berusia 4 tahun sepertinya telah menerima firasat saat bapaknya berangkat ke Lanud Iswahyudi. “Saat itu Mas Weko hanya bilang kepada Vikri, bapak mau terbang. Vikri yang biasanya mengantar sampai mobil dinas, saat itu hanya melambaikan tangan dari pintu rumah,” terang Ny Vanda lalu menerawang.
Tentu saja hingga sekarang Ny Vanda masih terbayang dengan suami tercintanya itu. Setiap malam ketika pintu pagar rumah terbuka, Ny Vanda selalu teringat suaminya ketika mengetuk pintu.
Namun sebagai umat beragama, Ny Vanda tetap merelakan dan selalu berdoa agar arwah suaminya diterima dan segala amalnya dibalas Allah swt.
“Hidup dan mati memang hanya milik Allah semata, semoga Mas Weko mendapat jalan yang lapang,” imbuh Ny Vanda mengakhiri wawancara. (teddy ardianto)
Langganan:
Postingan (Atom)