Rabu, 27 Juni 2007

Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono

Siapa Dia >>




Reporter : Teddy Ardianto

Setelah hampir empat tahun Uskup Surabaya lowong sejak Mgr Johanes Sudiarna Hadiwikarta Pr wafat pada 13 Desember 2003 akibat serangan jantung, umat Katolik Di Surabaya bakal mendapat Uskup baru.

Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono Pr pada tanggal 29 Juni nanti akan ditabiskan menjadi Uskup Surabaya dalam upacara perayaan Ekaristi di Stadion Jala Krida Mandala AAL Bumimoro Surabaya.

"Jawa Timur merupakan tempat yang sangat dinamis, simbol tugu pahlawan yang menjadi unsur kerelaaan melekat pada masyarakatnya," terang Romo Vincentius Sutikno Wisaksono saat press relese di rumah makan Akam jalan Raya Dukuh Kupang, Rabu (27/6/2007).

Menurutnya tantangan umat Katolik kedepan adalah semakin meningkatnya budaya materialisme, seks bebas, serta tidak mengenal Tuhan. "Itulah tantang umat yang harus menjadi perhatian," imbuhnya.

Selain itu musibah yang bertubi-tubi seperti banjir lumpur Porong yang hingga kini belum tuntas juga menjadi agenda dari keuskupan Surabaya untuk membantu warga.

Romo Vincentius Sutikno Wisaksono dengan nama lengkap Vincentius Oei Tik Hauw lahir pada tahun 1953 di Surabaya. Setelah menyelesaikan sekolah dasar dan menengah, masuk ke Seminari Menengah Santo Vincensius a Paolo di Garum, Blitar dan melanjutkan ke Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, di Jogjakarta untuk belajar filsafat dan teologi.

Beliau ditahbiskan menjadi imam untuk Keuskupan Surabaya pada tanggal 21 Januari 1982 di katedral Surabaya. Setelah pentahbisan, beliau telah melaksanakan penugasan sebagai berikut:

1982 - 1983: menjadi pastor bantu di Paroki St. Yosef, Kediri,
1983 - 1988: menjadi pembina dan ekonom pada Seminari St. Vincentius a Paolo, Garum, Blitar,
1988 - 1991: studi untuk Master dalam bidang psikologi di Universitas De La Salle, Filipina,
1991 - 2000: Rektor Seminari Tinggi Inter-diosesan di Malang,
2000 - 2004: studi untuk Doktorat dalam bidang psikologi di Universitas De La salle, Filipina,
sejak 2004 : menjadi pastor bantu di Katedral Surabaya. [ted/gus]

2 komentar:

H Gozali mengatakan...

Saat saya membaca harian Jawa Pos edisi 14 Feb 2010 hlm. 30, wawancara Uskup-ku, panutan arek2 Katolik suroboyo, dimuat di harian tsb. Saat membaca berdebar rasanya jantung ini. Begitu selesai baca, wajah langsung memerah karena malu. Hati dan pikiran, kompak berseru Apakah pantas, seorang Uskup Yth. berucap seperti itu. Rasanya nggak mungkin, tapi it's true. Larangannya atas perayaan imlek di Gereja mengingatkan akan rezim Soeharto. Ungkapannya memakai bahasa mandarin ngawur seperti yang biasa dilakukan anggota Srimulat, amat sangat tidak lucu. Sungguh menyakitkan penghinaan ini, apalagi terucap dari seorang Uskup yang sekali lagi amat sangat terhormat. Dengan bangga dan aroganya dia menyatakan sejak Uskup Vincentius Sutikno berkuasa di Surabaya, tidak ada lagi bagi-bagi angpao di Gereja Katolik. Padahal, tahun lalu (2009) di Paroki Kepanjen, romonya bagi-bagi angpao setelah misa, bahkan dia main erlhu (alat musik tradisional china), sebelum misa pun umat dan warga sekitar dihibur dengan pertunjukkan barongsai (Thanks God, there is still CM in Surabaya with his openheart & full of love). Dan umat tetap mengikuti upacara kurban misa dengan hormat sebagaimana perayaan ekaristi hari2 yang lain (tentu saja tanpa barongsai ikut-ikut misa atau urusan perayaan Imlek lainnya dibawa-bawa). Masih di harian yang sama (Jawa Pos), tanggal yg sama, di halaman 7. Diceritakan bagaimana duo romo Italiano asli di suatu paroki di Jakarta, juga tetap mengadakan perayaan Imlek di Gereja di parokinya, bahkan mereka tidak mempermasalahkan warga Tionghoa sekitar yang belum beriman pada Kristus, turut berbagi kegembiraan san suka cita. Dari malu, hati ini jadi menangis dan bertanya, Apakah Tuhan sudah meninggalkan daku, Roh Kudus Pelita Hati-ku sudah tidak sudi memancarkan nyala penerangann-Nya, sehingga hati dan nuraniku amat sangat bertentangan dengan seorang Uskup yang amat sangat terhormat, yang ditunjuk oleh Bapa Suci? OMG, apakah ini akhir zaman dimana mulai bermunculan nabi-nabi palsu? dari: Alfonsus Ligouri Handoyo G yg sedang kehilangan gembalanya.

Unknown mengatakan...

Saya setuju dengan apa yang dilakukan oleh Uskup Sutikno. Perlu dipisahkan perayaan rohani dengan perayaan profan.

Kalau kita merayakan imlek, yang senang itu manusia dan bukan Tuhan. Apakah ekaristi itu untuk menyenangkan kita ? Apabila untuk menyenangkan Tuhan, tidak ada yang lebih menyenangkan Tuhan daripada pengorbanan putraNya di kayu salib.

Roh Kudus selalu beserta kita dalam suka maupun duka, iman kita pun seharusnya begitu. tetap beriman pada Tuhan dalam suka maupun duka

pax christe