Minggu, 16 September 2007

Buku Revolusi Bolivarian

www.beritajatim.com
Minggu, 16/09/2007 07:22 WIB
Info Buku
Media Dan Keberpihakan Kasus Venezuela
Reporter : Teddy Ardianto

Baru-baru ini Presiden Venezuela Hugo Chaves menutup stasiun televisi RCTV (media anti Chavez). Sejumlah tokoh kebebasan pers menuding pemerintah Hugo Chaves yang berhaluan komunis anti kritik dan otoriter.

Namun menurut penulis buku Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez dan Presiden Radikal, Nurani Soyomukti menilai apa yang terjadi di Venezuela tentunya harus kritis dan tidak sekedar memandangnya secara hitam-putih.

Para pakar komunikasi tentunya paham bahwa bahwa tidak akan ada berita yang tidak memihak. Hubungan Chavez dengan TV (secara khusus) dan media massa lainnya (secara umum) di Venezuela harus dilihat dari aspek kepentingan ekonomi-politik.

Pertentangan antara Chavez yang ingin membawa Venezuela ke jalan alternatif selain sosialisme dengan kaum oposisi yang pada kenyataannya memang menguasai kepemilikan media merupakan kondisi yang tidak bisa diabaikan untuk memahami demokrasi politik di Venezuela.

Tuduhan Chavez bahwa TV yang dututupnya itu melakukan intrik-intrik kotor juga harus dipertimbangkan. Sejak awal pemerintahannya, pemberitaan media yang mewakili kepentingan oposisi juga berusaha memainkan opininya untuk menyerang Chavez dan pengikutnya. Termasuk berita tentang pemogokan dan kejadian seputar penggulingan terhadap Chavez oleh kelompok oposisi (pengusaha).

Setiap kali kita membaca sebuah berita, kita akan dapat melihat sudut pandang dari mereka yang menulis berita itu. Media pendukung Chavez, selain masih gagal mendominasi, juga akan dihalangi untuk mengumandangkan berita-berita yang mengandung sudut pandang kelas tertindas.

Brian Ellsworth, wartawan Houston Chronicle, pada edisi 20 Desember 2002 telah melaporkan bahwa pertarungan politik Venezuela juga berlangsung sengit dalam bidang pemberitaan, terutama di media televisi. Ia menulis bahwa televisi swasta di Venezuela berpihak tanpa syarat pada gerakan anti-Chavez sementara stasiun televisi pemerintah berpihak tanpa syarat pada Chavez.

Ia melaporkan bahwa liputan dari saluran televisi swasta penuh 'propaganda', sementara saluran televisi pemerintah 'menyatakan kebenaran.' Maria Teresa de Guzman, seorang desainer grafik berusia 39 tahun, melihatnya sebagai hal yang persis berkebalikan. "Pemerintah tidak menyukai saluran televisi komersial karena mereka menunjukkan pada dunia bahwa Chavez adalah seorang pembohong dan komunis," ujarnya.

Ini adalah persoalan perpektif kelas dalam melihat kasus. Ini adalah masalah pendapat orang miskin dan orang kaya. Orang kaya anti-Chavez dan orang miskin pro-Chavez. Kalau media lokal saja keberpihakannya sudah sangat jelas begitu, apalagi media internasional yang dikuasai oleh kelas borjuis.

Dan Feder, wartawan NarcoNews Bulletin, media yang khusus meliputi berita perang anti-narkotik dan politik Amerika Latin, melaporkan bahwa Associated Press, kantor berita yang memasok 90% berita tentang Venezuela, ternyata berpihak tanpa syarat pada kelas borjuasi yang sedang berjuang untuk menggulingkan Chavez.

Associated Press (AP) sudah terkenal dengan pemberitaan berat sebelah seperti ini, seperti yang terjadi pada kasus Peter McFarren, seorang jurnalis AP di Bolivia, yang terlibat dalam menggolkan proyek pipa air senilai US$ 80 juta.

Dalam pemberitaannya tentang konflik yang muncul dari proyek ini, McFarren menulis berita yang sangat merugikan rakyat yang menentang proyek itu.

Belakangan, praktek McFarren itu berhasil dibongkar oleh NarcoNews. Penyelidikan oleh Komite Kejujuran dan Ketepatan Pemberitaan (FAIR) dan Howard Kurtz, wartawan Washington Post, membuktikan bahwa memang Peter McFarren berkepentingan untuk menggolkan proyek itu dan memutarbalikkan fakta dalam pemberitaannya.

Feder melaporkan bahwa wartawan Associated Press (AP) bukan saja tidak mau melaporkan apa yang dikerjakan oleh para pendukung Chavez, tapi juga berani untuk mengemukakan kebohongan terang-terangan. Contohnya, Feder melaporkan bagaimana pernyataan Organisasi Negara-negara Amerika Selatan (OAS) yang mendukung tindakan Chavez dilaporkan sebagai "menentang Chavez".

Dengan lihai, responden AP di Caracas, Nestor Ikeda, memutarbalikkan fakta ini. Ikeda juga selalu melemparkan komentar jahat ketika bicara tentang para pendukung Chavez, kaum Chavistas, dan membumbui komentar positif ketika bicara tentang para penentang Chavez.

Dalam penulisan laporannya, Ikeda hanya mengandalkan pertemuan dan wawancara dengan para penentang Chavez, ia sama sekali tidak pernah memuat pendapat para pendukung Chavez. Pendeknya, Ikeda berpihak tanpa syarat pada para penentang Chavez.

Data-data tersebut menguatkan pandangan bahwa penilaian dan tindakan Chavez terhadap TV harus diletakkan dalam konteks politik Venezuela. TV swasta yang dikuasai oleh kelompok oposisi memang menjadi penghambat bagi pelaksanaan program-program perjuangan Hugo Chavez untuk melakukan transformasi sosial di negerinya.

Oleh karena itulah salah satu program Chavez ketika naik menjadi presiden adalah juga merebut kembali Televisi nasional (semacam TVRI di Indonesia) yang dapat digunakan untuk membalas penilaian-penilaian buruk dan serangan-serangan dari media Barat dan swasta yang dikuasai oleh kelompok kontra-revolusi.

Hugo Chaves juga bermaksud menggoalkan proyek Telesur, yaitu dimaksudkan sebagai stasiun TV seluruh Amerika Latin yang dikomandoi Venezuela yang tujuannya adalah menyediakan berita dari perspektif rakyat Amerika Latin.

Stasiun TV yang mendominasi benua waktu itu adalah CNN di Spanyol, yang mencerminkan bias kepentingan dari AS. Argentina, Brazil, dan pemerintahan yang baru terpilih di Uruguay mendukung kedua proyek tersebut.

Ingin tahu kelanjutannya? Bisakah, Indonesia seperti Venezuela? Membaca buku ini anda akan terhenyak kaget!~ Ternyata ada sistem alternatifdengan praktek-praktek ekonomi menarik yang dijlentrehkan cukup detail dalam buku ini. "Ini adalah buku pertama tentang Revolusi Bolivarian di Venezuela di bawah Hugo Chavez yang ditulis oleh penulis Indonesia.[ted]

Tidak ada komentar: